"Dampak perubahan iklim pada sektor pertanian apabila tidak disiasati dan dilakukan upaya adaptasi dapat mengakibatkan terjadinya kelebihan atau kekurangan air. Kondisi ini telah dirasakan oleh petani sehingga menyebabkan risiko kegagalan usaha pertanian yang semakin meningkat dan sulit diprediksi" lanjutnya.
Meskipun tidak menutup kemungkinan berdampak pula terhadap kegiatan-kegiatan industri, perkebunan dan ketersediaan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari..
Petani sebagai ujung tombak pelaksana pembangunan pertanian diharapkan mampu melaksanakan usahatani di tengah fenomena perubahan iklim yang terjadi seperti sekarang ini.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kapasitas petani dalam melakukan adaptasi mitigasi dengan membangun infrastruktur konservasi air untuk meningkatkan ketersediaan air.
Pengembangan Embung pertanian merupakan pengembangan teknologi konservasi air yang sederhana, biayanya relative murah dan dapat dibangun melalui pola padat karya/swadaya petani. Kegiatan ini diprioritaskan pada lokasi yang termasuk dalam kategori desa miskin. Embung pertanian adalah solusi teknis pemanen air (water harvesting) yang apabila dibangun sesuai kriteria teknis, mampu meningkatkan indeks pertanaman dan meningkatkan taraf hidup petani/masyarakat sekitarnya.
Faktor air ini juga mempengaruhi tanaman apa yang akan diprioritaskan untuk ditanam. Area sawah dengan padinya tentu memerlukan limpahan air, setidaknya bisa menggenangi lahan tempat tanam tersebut. Namun faktanya tidak semua area pertanian bisa terjamin kesetersediaan airnya.
Sri Sultan mengaku yakin, embung bisa menjadi pilihan paling baik untuk mengatasi dan mengendalikan tingginya luapan kedua sungai itu di musim hujan. Sultan melihat pendirian embung menjadi solusi terakhir. Sebab, selama 18 tahun menjadi Gubernur DIY, Sultan melihat Pemkab Bantul hanya mengajukan anggaran perbaikan talud dan tanggul saban tahun. Langkah ini ternyata tidak mengatasi bencana banjir yang justru semakin meluas.